Makalah
Ilmu Kalam
“Perbandingan Antar Aliran Tentang Sifat Tuhan, Kehendak
Tuhan dan Keadilan Tuhan “
Disusun
Oleh :
1. Wilda
Faizah Jaelani
2. Winni
Warniza AZ
3. Yuliya
Astuti
Dosen
Pembimbing :
Sri Hidayati S.Hi S.Pd.I
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
IAIN
RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN
AJARAN 2013/2014
--------------------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu Kalam adalah salah satu dari
empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi
kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya
ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. JikaIlmu Fiqh
membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan
orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf
membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat
pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal
batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal hal yang bersifat perenungan
spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam
mengarahka pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai
derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun
sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama
Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh
akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki
pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia
dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin
yang sangat khas Islam. Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan
kaum Muslim.
Dalam makalah ini kami berusaha
membahas tentang pengertian ilmu kalam, dan bagaimana perbandingan antara
beberapa aliran dalam ilmu kalam, serta perkembangan ilmu kalam pada era
kotemporer ini.
-----------------------------------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perbandingan
Antar Aliran tentang Sifat-sifat Tuhan
1. Aliran
Mu’tazilah
Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah dengan kaum
Asy’ariah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan Tuhan mempunyai sifat
atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu, seharusnya kekal seperti
halnya dzat Tuhan. Selanjutnya, jika sifat-sifat itu kekal yang bersifat kekal
tidak satu, tetapi banyak.
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini
dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang
Tuhan, sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy’ar bersifat negatif. Menurutnya, Tuhan tidak mempunyai
pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya.
Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak
hidup, dan sebagainya. Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkuasa, dan
sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti sebenarnya.
Untuk mengetahui lebih jelas pendangan Mu’tazilah
tentang sifat-sifat Allah, berikut akan dikemukakan pandangan tokoh-tokoh
Mu’tazilah, di antaranya An-Nazhzham dan Abu Hudzail. An- Nazhzham menafikan
pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan sifat-sifat dzat Allah
yang lain. Allah dalam pendapatnya senantiasa tahu, hidup, kuasa, mendengar,
melihat, dan qadim dengan diri-Nya, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan,
perikehidupan, pendengaran, penglihatan, dan keqadiman. Demikian pula dengan
sifa-sifat Allah yang lain.
An- Nazhazham mengatakan bahwa jika ditetapkan bahwa
Allah adalah dzat yang tahu, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim,
yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya(bukan sifat-Nya). Dinafikan pula
dari-Nya kebodohan, kelemahan, kematian, tuli, dan buta.
Sementara itu, dalam pandangan Abu Hudzail, esensi
pengetahuan Allah adalah Allah sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran,
penglihatan, dan kebijaksanaan, dan sifat-Nya yang lain.
Meskipun terdapat perbedaan paham antara
pemuka-pemuka Mu’tazilah, mereka sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat.
Aliran Mu’tazilah yang memberikan pada akal daya
yang besar berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat
jasmani. Apabila Tuhan dikatakan mempunyai sifat jasmani, tentu Tuhan mempunyai
ukuan panjang, lebar, dan dalam, atau Tuhan diciptakan sebagai kemestian dari
sesuatu yang bersifat jasmani.
Selanjutnya, Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan
bersifat inmateri sehingga tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Dua argument
pokok yang diajukan oleh Mu’tazilah untuk menjelaskan bahwa Tuhan dapat dilihat
dengan mata jasmani. Pertama, Tuhan tidak mengambil tempat. Oleh karena itu,
tidak dapat dilihat. Kedua, apabila Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala,
berate Tuhan dapat dilihat sekarang di dunia ini. Kenyataannya tidak seorangpun
yang dapat melihat Tuhan di alam ini.
Mengenai hakikat Al-qur’an, aliran Mu’tazilah
berpendapat bahwa Al-qur’an adalah makhluk sehingga itu tidak kekal. Mereka
beragumen bahwa Al-qur’an tersusun dari kata-kata, dan kata-kata tersusun dari
huruf-huruf. Demikian pula surat dan ayat ada yang terdahulu dan terkemudian.
Sesuatu yang bersifat terdahulu dan datang kemudian tidak dapat dikatakan
qadim.
2. Aliran
Asy’ariah
Kaum Asy’ariah membawa penyelesaian yang berlawanan
dengan paham Mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai
sifat. Menurut Al-Asy’ari tidak dapat dimungkari bahwa Tuhan mempunyai sifat
karena perbuatan-perbuatannya. Selain itu Tuhan mengetahui, menghendaki,
berkuasa, dan sebagainya, di samping mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Sementara itu, Al-Baghladi melihat adanya konsensus
di kalangan kaum Asy’ariah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan,
pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah kekal. Menurut
A-Ghazali, sifat-sifta ini tidak sama dengan esensi Tuhan, tetapi berwujud
dalam esensinya. Untuk mengatasinya, kaum Asy’ariah mengatakan bahwa
sifat-sifta itu bukan Tuhan, melainkan dari Tuhan. Karena, sifat-sifat bukan
dari Tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa pada paham banyak kekal.
Asy’ariah sebagai aliran kalam tradisional yang
memberikan daya pada akal menolak paham Tuhan mempunyai sifta-sifat jasmani
apabila sifta jasmani dipandang sama dengan sifta manusia. Akan tetapi,
ayat-ayat Al-qur’an meskipun menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani,
tidak boleh ditakwilkan dan harus dite rima
sebagaimana makna harfinya. Oleh karena itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ariah
mempunyai mata, wajah, tangan, serta bersemayam di singgasana. Akan tetapi,
se,ua itu dikatakan la yukayyaf wa ala
yuhadd (tanpa diketahui cara dan batasnya).
Aliran Asy’ariah berpendapat bahwa Tuhan dapat
dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala. Aliran ini juga berpendapat bahwa
Al-qur’an adalah kekal tidak diciptakan.
3. Aliran
Maturidiah
Paham Maturidiah tentang makna sifat Tuhan cenderung
mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan
Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menilak
adanya sifat-sifat Tuhan.
Sementara itu, Maturidiah Bukhara yang memperthankan
kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Aliran
Maturidiah Bukhara berbeda dengan Asy’ariah. Maturidiah Bukhara berpendapat
bahwa Tuhan tidak memilikisifta-sifat jasmani.
Golongan Samarkhand dalam hal ini tidak sepaham
dengan Mu’tazilah karena Al-Maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, melainkan tidak lain dari Tuhan.
Maturidiah Samarkhand sependapat dengan
Mu’tazilah dalam mengahadapi ayat-ayat yang member gambaran Tuhan bersifat dengan
mengahdapi jasamni ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
jasmani, yaitu tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Allah.
Maturidiah Samarkhand sejalan dengan Asy’ariah dalam
hal Tuhan dapat dilihat.
- Perbandingan
Antar Aliran tentang Kehendak Tuhan dan Keadilan Tuhan
- Aliran
Mu’tazilah
Aliran ini
berprinsip tentang keadilan Tuhan bahwa keadilan Tuhan itu adil dan tidak
mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan
hamba-Nya itu untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian, manusia
mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan sedikitpun
dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas
segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa
kepada hamba-Nya tanpa mengiringinya dengan memberikan kebebasan terlebih
dahulu.
Secara
lebih jelas, aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya
tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh
kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam (sunnatullah)
yang menurut al-qur’an tidak pernah berubah.
Oleh sebab
itu, dalam padangan Mu’tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam
jalur hukum-hukum yang tersebar di tengah alam semesta itulah sebabnya
Mu’tazilah mempergunakan ayat 62 surat Al-Ahzab [33] yang berbunyi :
(62).
Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang Telah terdahulu sebelum
(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.
Kebebasan
manusia, yang memang diberikan Tuhan kepadanya, baru bermakna kalau Tuhan
membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Demikian pula keadilan Tuhan,
membuat Tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar
membuat Tuhan bersifat tidak adil atau zalim. Dengan demikian, dalam pemahaman
Mu’tazilah Tuhan tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasann-Nya secara
mutlak, tetapi sudah terbatas.
Selanjutnya,
aliran Mu’tazilah mengatakan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sbd Al-Jabbar,
bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang
buruk, tidak melalikan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala
perbuatan-Nya adalah baik. Jalan pikiran ini tidak menghendaki sifat zalim
dalam menghukum, memberi beban yang tidak patuh bagi Allah. Dengan kata lain,
Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah mempunyai kewajiban-kewajiban yang
ditentukan-Nya sendiri bagi diri-Nya.
Apabila
kita perhatikan uraian di atas, jelas sekali bahwa keadilan Tuhan menurut
konsep Mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikirannya tentang kehendak
mutlak Tuhan. Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya keharusan dalam
perbuatan-perbuatan-Nya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluk
dan memberi kebebasan kepada manusia. Adapun kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh
keadilan Tuhan itu sendiri.
- Aliran
Asy’ariyah
Kaum
Asy’ariyah, karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa
perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat
sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena
kepentingan manusia atau tujan yang lain. Mereka mengartikan keadilan dengan
menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan yang
mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan
kehendak-Nya. Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak
hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau memberi siksa
sekehendak hati-nya, dan itu semua adalah adil bagi Tuhan. Justru tidaklah adil
bagi Tuhan jika tidk dapat berbuat sekehendak-Nya karena Dia adalah penguasa
mutlak. Sekiranya Tuhan menghendaki makhluk-makhluk-Nya masuk ke dalam surga
ataupun neraka, itu adalah adil karena Tuhan berbuat dan membuat hukum menurut
kehendak-Nya.
Karena
menekankan kekuasaan dan kehendak multak Tuhan, aliran Asy’ariyah memberi makna
keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap
makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak-Nya. Dengan demikian, ketidakadilan
difahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap
makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil, bila yang difahami
Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
Dari uraian
di atas dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan dalam konsep Asy’ariyah
terletak pada kehendak mutlak-Nya.
- Aliran
Maturidiyah
Dalam
memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua,
yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan
ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan
pemberian batas terhadap kekuasaan mutlak Tuhan.
Kehendak
mutlak Tuhan menurut Maturidiyah Samarkand dibatasi oleh keadilan Tuhan.
Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-perbuatan-Nya adalah baik dan
tidak mampu berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya
terhadap manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu
berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukum karena
Tuhan tidak dapat berbuat zalim. Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada
manusia sesuai dengan perbuatannya.
Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa
Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya
dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa
Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, dapat diambil
pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya, tak ada satu
dzat pun yang lebih berkuasa daripada-Nya dan tidak ada batasan-batasan
bagi-Nya. Tampaknya, aliran Maturidiyah Samarkand lebih dekat dengan Asy’ariyah.
Lebih jauh
lagi, Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa ketidakadilan Tuhan haruslah
difahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas,
Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai
unsur pendorong untuk menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri.
Ini berarti, bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau
dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan
manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB III
KESIMPULAN
Kaum Mu'tazilah berpendapat semua
persoalan di atas dapat diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang
sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui
yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur
kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam
memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki
pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Kaum asy’ariyah
membawa penyelesaian yang berlawanan sdengan Mu'tazilah mereka dengan tegas
mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat.
Menurut aliran asy’ariyah sendiri
tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan
nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga
menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan
bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan
perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser
atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan
Tuhan.
Kehendak mutlak Tuhan, menurut
maturidiyah samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti
bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat serta
tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap manusia. pendapat ini
lebih dekat dengan Mu'tazilah.
-----------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam,
Pustaka Setia Bandung: 2006.
Abdullah, Amin. 1995. “Aspek Epistemologi Filsafat Islam” dalam Irma
Fatimah (ed). Filsafat Islam, Yogyakarta: LSFI, ——————-Falsafah Kalam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.——————- 2000. “Kajian Ilmu Kalam di IAIN
menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman Pada Era Milenium Ketiga”
dalam al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 65/VI. Yogyakarta: IAIN Suka.
Harun Nasution Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan UI
Press, Jakarta: 1986
Hanafi, Hassan, t.t. Dirasat Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Anjilo
al-Misriyyah.
Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta: 1996:
Drs. H. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993.
Apa refrensi dari makalah ini??
BalasHapus