Minggu, 29 Desember 2013

Makalah Ilmu Kalam “Perbandingan Antar Aliran Tentang Sifat Tuhan, Kehendak Tuhan dan Keadilan Tuhan

Makalah Ilmu Kalam
“Perbandingan Antar Aliran Tentang Sifat Tuhan, Kehendak Tuhan dan Keadilan Tuhan “


Disusun Oleh :

1.     Wilda Faizah Jaelani 
2.     Winni Warniza AZ 
3.     Yuliya Astuti 


Dosen Pembimbing :
 Sri Hidayati S.Hi S.Pd.I


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
IAIN RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2013/2014



--------------------------------------------------------------------------



BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. JikaIlmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahka pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam. Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim.
Dalam makalah ini kami berusaha membahas tentang pengertian ilmu kalam, dan bagaimana perbandingan antara beberapa aliran dalam ilmu kalam, serta perkembangan ilmu kalam pada era kotemporer ini. 



-----------------------------------------------------------



BAB II
PEMBAHASAN

   A.    Perbandingan Antar Aliran tentang Sifat-sifat Tuhan

1.      Aliran Mu’tazilah
Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu, seharusnya kekal seperti halnya dzat Tuhan. Selanjutnya, jika sifat-sifat itu kekal yang bersifat kekal tidak satu, tetapi banyak.
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy’ar bersifat  negatif. Menurutnya, Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup, dan sebagainya. Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti sebenarnya.
Untuk mengetahui lebih jelas pendangan Mu’tazilah tentang sifat-sifat Allah, berikut akan dikemukakan pandangan tokoh-tokoh Mu’tazilah, di antaranya An-Nazhzham dan Abu Hudzail. An- Nazhzham menafikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan sifat-sifat dzat Allah yang lain. Allah dalam pendapatnya senantiasa tahu, hidup, kuasa, mendengar, melihat, dan qadim dengan diri-Nya, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan, perikehidupan, pendengaran, penglihatan, dan keqadiman. Demikian pula dengan sifa-sifat Allah yang lain.
An- Nazhazham mengatakan bahwa jika ditetapkan bahwa Allah adalah dzat yang tahu, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim, yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya(bukan sifat-Nya). Dinafikan pula dari-Nya kebodohan, kelemahan, kematian, tuli, dan buta.
Sementara itu, dalam pandangan Abu Hudzail, esensi pengetahuan Allah adalah Allah sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan kebijaksanaan, dan sifat-Nya yang lain.
Meskipun terdapat perbedaan paham antara pemuka-pemuka Mu’tazilah, mereka sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.
Aliran Mu’tazilah yang memberikan pada akal daya yang besar berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat jasmani. Apabila Tuhan dikatakan mempunyai sifat jasmani, tentu Tuhan mempunyai ukuan panjang, lebar, dan dalam, atau Tuhan diciptakan sebagai kemestian dari sesuatu yang bersifat jasmani.
Selanjutnya, Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan bersifat inmateri sehingga tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Dua argument pokok yang diajukan oleh Mu’tazilah untuk menjelaskan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata jasmani. Pertama, Tuhan tidak mengambil tempat. Oleh karena itu, tidak dapat dilihat. Kedua, apabila Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, berate Tuhan dapat dilihat sekarang di dunia ini. Kenyataannya tidak seorangpun yang dapat melihat Tuhan di alam ini.
Mengenai hakikat Al-qur’an, aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-qur’an adalah makhluk sehingga itu tidak kekal. Mereka beragumen bahwa Al-qur’an tersusun dari kata-kata, dan kata-kata tersusun dari huruf-huruf. Demikian pula surat dan ayat ada yang terdahulu dan terkemudian. Sesuatu yang bersifat terdahulu dan datang kemudian tidak dapat dikatakan qadim.

2.      Aliran Asy’ariah
Kaum Asy’ariah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan paham Mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Al-Asy’ari tidak dapat dimungkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya. Selain itu Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya, di samping mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Sementara itu, Al-Baghladi melihat adanya konsensus di kalangan kaum Asy’ariah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah kekal.  Menurut A-Ghazali, sifat-sifta ini tidak sama dengan esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensinya. Untuk mengatasinya, kaum Asy’ariah mengatakan bahwa sifat-sifta itu bukan Tuhan, melainkan dari Tuhan. Karena, sifat-sifat bukan dari Tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa pada paham banyak kekal.
Asy’ariah sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya pada akal menolak paham Tuhan mempunyai sifta-sifat jasmani apabila sifta jasmani dipandang sama dengan sifta manusia. Akan tetapi, ayat-ayat Al-qur’an meskipun menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan dan harus dite   rima sebagaimana makna harfinya. Oleh karena itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ariah mempunyai mata, wajah, tangan, serta bersemayam di singgasana. Akan tetapi, se,ua itu dikatakan la yukayyaf wa ala yuhadd (tanpa diketahui cara dan batasnya).
Aliran Asy’ariah berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala. Aliran ini juga berpendapat bahwa Al-qur’an adalah kekal tidak diciptakan.

3.      Aliran Maturidiah
Paham Maturidiah tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menilak adanya sifat-sifat Tuhan.
Sementara itu, Maturidiah Bukhara yang memperthankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Aliran Maturidiah Bukhara berbeda dengan Asy’ariah. Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan tidak memilikisifta-sifat jasmani.
Golongan Samarkhand dalam hal ini tidak sepaham dengan Mu’tazilah karena Al-Maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah  Tuhan, melainkan tidak lain dari Tuhan. Maturidiah  Samarkhand sependapat dengan Mu’tazilah dalam mengahadapi ayat-ayat yang member gambaran Tuhan bersifat dengan mengahdapi jasamni ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan jasmani, yaitu tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Allah.
Maturidiah Samarkhand sejalan dengan Asy’ariah dalam hal Tuhan dapat dilihat.

  1. Perbandingan Antar Aliran tentang Kehendak Tuhan dan Keadilan Tuhan
  1. Aliran Mu’tazilah
Aliran ini berprinsip tentang keadilan Tuhan bahwa keadilan Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya itu untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan sedikitpun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa mengiringinya dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu.
Secara lebih jelas, aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam (sunnatullah) yang menurut al-qur’an tidak pernah berubah.
Oleh sebab itu, dalam padangan Mu’tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di tengah alam semesta itulah sebabnya Mu’tazilah mempergunakan ayat 62 surat Al-Ahzab [33] yang berbunyi :

(62). Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang Telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.

Kebebasan manusia, yang memang diberikan Tuhan kepadanya, baru bermakna kalau Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Demikian pula keadilan Tuhan, membuat Tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil atau zalim. Dengan demikian, dalam pemahaman Mu’tazilah Tuhan tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasann-Nya secara mutlak, tetapi sudah terbatas.
Selanjutnya, aliran Mu’tazilah mengatakan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sbd Al-Jabbar, bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalikan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik. Jalan pikiran ini tidak menghendaki sifat zalim dalam menghukum, memberi beban yang tidak patuh bagi Allah. Dengan kata lain, Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri bagi diri-Nya.
Apabila kita perhatikan uraian di atas, jelas sekali bahwa keadilan Tuhan menurut konsep Mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikirannya tentang kehendak mutlak Tuhan. Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya keharusan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan memberi kebebasan kepada manusia. Adapun kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.


  1. Aliran Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah, karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujan yang lain. Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau memberi siksa sekehendak hati-nya, dan itu semua adalah adil bagi Tuhan. Justru tidaklah adil bagi Tuhan jika tidk dapat berbuat sekehendak-Nya karena Dia adalah penguasa mutlak. Sekiranya Tuhan menghendaki makhluk-makhluk-Nya masuk ke dalam surga ataupun neraka, itu adalah adil karena Tuhan berbuat dan membuat hukum menurut kehendak-Nya.
Karena menekankan kekuasaan dan kehendak multak Tuhan, aliran Asy’ariyah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak-Nya. Dengan demikian, ketidakadilan difahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil, bila yang difahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.

  1. Aliran Maturidiyah
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas terhadap kekuasaan mutlak Tuhan.
Kehendak mutlak Tuhan menurut Maturidiyah Samarkand dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukum karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim. Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya, tak ada satu dzat pun yang lebih berkuasa daripada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya. Tampaknya, aliran Maturidiyah Samarkand lebih dekat dengan Asy’ariyah.
Lebih jauh lagi, Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa ketidakadilan Tuhan haruslah difahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas, Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti, bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.


-----------------------------------------------------------------------------------------------------


BAB III
KESIMPULAN
Kaum Mu'tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan sdengan Mu'tazilah mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat.
Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap manusia. pendapat ini lebih dekat dengan Mu'tazilah. 




 -----------------------------------------------------------------------------------------



DAFTAR PUSTAKA
DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam,
Pustaka Setia Bandung: 2006.
Abdullah, Amin. 1995. “Aspek Epistemologi Filsafat Islam” dalam Irma Fatimah (ed). Filsafat Islam, Yogyakarta: LSFI, ——————-Falsafah Kalam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.——————- 2000. “Kajian Ilmu Kalam di IAIN menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman Pada Era Milenium Ketiga” dalam al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 65/VI. Yogyakarta: IAIN Suka.
Harun Nasution Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan UI Press, Jakarta: 1986
Hanafi, Hassan, t.t. Dirasat Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Misriyyah.
Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta: 1996:

Drs. H. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993.

1 komentar: